Daftar Isi:
Akhir-akhir ini sering mendengar istilah ‘storynomic’ di beberapa acar webinar dan berita. Bahkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) akan mengembangkan ‘storynomics tourism’. Apa itu storynomics tourism, apa pengertian storynomics?
Cerita adalah cara otak kita menafsirkan dunia di sekitar kita, mulai dari dinamisasi hubungan dengan orang lain, hingga cara kita menafsirkan komunikasi. Sedangkan storynomics adalah praktik menerapkan alur cerita ini ke dalam narasi bisnis kita.
Kalau diartikan satu persatu, story adalah cerita dan nomics (dari kata ‘nomos’ dalam bahasa Yunani) adalah peraturan, aturan, tata cara.
Bisa kita simpulkan storynomics adalah tata cara dalam bercerita sehingga bisa menghasilkan cerita yang bagus.
Baca juga:
* Pengertian Pariwisata, Berikut Jenis dan Contohnya
Buku Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising World
Istilah mulai ramai diperbincangkan sejak diluncurkannya buku berjudul “Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising World”. Buku ini adalah karangan Robert Mckee.
Robert Mckee adalah seorang penulis, dosen dan konsultan cerita yang dikenal luas dengan “Story Semninar”. Satu konsep yang dia kembangkan saat menjadi profesor di University of Southern California.
(Baca tentang Robert Mckee di: https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_McKee )
Dalam berbagai seminar yang membahas storynomics, Robert Mckee membagikan pemahamannya mengenai penerapan prinsip ‘storytelling’ (mendongeng) dalam dunia bisnis dan pemasaran.
Kalau kita melihat situasi saat ini, banyak berkembang ‘story’ yang sebenarnya bukanlah cerita. Ada ‘Instagram Story’, ‘Facebook Story’, dan lainnya.
Apakah itu sebuah cerita yang bagus? Jawabannya saya kembalikan saja ke masing-masing.
Cara Membuat Cerita / Storynomics yang bagus
Saat kita menonton film atau membaca buku, kita bisa dibuat tertawa dan menangis. Saat ditanya alasannya, hampir semua bisa katakan karena ‘ceritanya bagus’. Jadi ‘cerita yang bagus’ adalah kuncinya.
Dalam bukunya, Robert Mckee membagikan tips (kerangka bercerita), agar sebuah cerita yang kita bisa membuat orang lain yang membacanya membeli produk yang kita jual.
Dalam buku tersebut ada kutipan; “The arc of the purpose-told story guides the consumer from an absence in her life to its fulfillment, from need to satisfaction.”
Busur dari tujuan cerita yang dikisahkan adalah, memandu konsumen dari ketiadaan menjadi pemenuhan, dari kebutuhan menjadi kepuasan.
Kutipan tesebut menjadi deskripsi dasar dari sebagian besar film yang dibuat. Produser dan sutradara sengaja membuatnya, bukan sebuah kebetulan.
Cerita terbaik akan memuaskan penonton atau pembaca dengan pengalaman emosional setelah menyaksikan film atau membaca cerita di buku. Memberikan suatu makna kepada pemirsa dibanding sebelum membaca atau menyaksikannya.
Robert Mckee memberikan 8 kerangka dalam sebuah storynomics. Apa saja itu?
Langkah 1: The Three Targets
Seorang pemasar tidak bisa membuat asumsi target audience mereka. Harus menentukan siapa yang mereka sasar.
Tentukan (1) audiens target, (2) kebutuhan, keinginan, atau masalah target yang akan dipecahkan oleh produk atau layanan kita, dan (3) tindakan target yang kita inginkan.
Langkah 2: Subject Matter
Saat ingin membangun sebuah cerita, kita harus memahami terlebih dahulu inti dari brand kita. Nilai apa yang tidak akan dimiliki bisnis kita tanpa inti tersebut.
Bisa jadi berupa keunggulan pelayanan kepada pelanggan, layanan yang cepat, atau wawasan yang unik yang tidak ada di tempat lain.
Kalau sudah mengidentifikasi nilai inti tersebut, bangunlah protagonis dalam cerita kita, atau karakter utama, di sekitarnya.
Karakter utama bisa saja pelanggan kita yang dalam cerita, terbantu oleh perusahaan, produk, atau layanan kita.
Sebuah cerita yang berpusat pada konsumen ini menandakan adanya evolusi positif periklanan dunia. Selama ceritanya kreatif dan yang paling penting adalah jujur. Konsumen Milenial dan Generasi Z tidak suka dengan cerita omong kosong.
Langkah 3: The Inciting Incident
Setelah mendapatkan karakter utama yang bisa mewakili nilai perusahaan kita, kita suda siap membangun sebuah cerita. Bisa dimulai dengan insiden yang dialami tokoh protagonis, yang ‘menghasut’ atau ‘menggosok’ perasaan audience.
Bisa berupa anak-anak yang sedang berlari tiba-tiba terjatuh, seorang pria yang menyeberang jalan tanpa melihat kiri kanan.
Kejadian tersebut harus bisa menarik perhatian pemirsa. Membuat pemirsa bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang perlu dicatat, reaksi kareakter utama atas insiden tersebut adalah adanya maksud baik mengatasi masalah dari insiden tersebut.
Langkah 4: The Object of Desire
Setelah karakter utama mengalami insiden yang membuat mereka keluar dari keteraturan, kita harus menetapkan apa yang karakter tersebut inginkan. Keinginan mereka harus berhubungan dengan nilai inti perusahaan kita.
Bisa berupa penjagaan keamaan melalui layanan perusahaan kita, menjalani hari-hari berikut dengan dukungan layanan cepat kita.
Mengetahui obyek keinginan karakter utama akan membantu pemirsa lebih memahami cerita. Juga akan membangkitkan rasa ingin tahu bagaimana cerita akan berakhir.
Langkah 5: First Action
Pada tahap ini, karakter utama mengambil “tindakan pertama” mereka untuk mendapatkan keinginan mereka. Dalam story-driven marketing, penting agar tindakan yang diambil tokoh protagonis tampak masuk akal bagi audiens.
Sebagai seorang yang sedang bercerita, Kamu harus memahami karakter dan motivasi tokoh secara detail. Sehingga kamu bisa menulis tindakan yang tokoh kita lakukan terasa otentik bagi konsumen.
Baca juga:
* Apa itu Scuba Diving? Mau Jadi Penyelam, Pahami Ini Dulu!
Langkah 6: The First Reaction
Dalam penceritaan bisnis yang baik, tindakan pertama karakter utama disambut oleh reaksi yang tidak mereka duga. Reaksi itu harus menjadi sesuatu yang dapat dihubungkan dengan audiens. Sesuatu yang mencerminkan perjuangan audiens, sesuatu yang audiens inginkan sebagai solusi yang juga dapat mereka gunakan.
Selama ini dalam banyak sekolah pemasaran selalu menolak akan semua hal negatif, negafobia (negaphobia). Robert Mckee justru menyarankan sebaliknya.
Menghindari hal-hal negatif bisa menyebabkan iklan yang hambar dan berulang tanpa konflik yang cukup untuk menarik audiens masuk dan membuat dampak.
Langkah 7: Crisis Choice
Pilihan ‘reaksi’ akan mengarah krisis pemilihan. Seharusnya menjadi “tingkat ketegangan dan ketegangan tertinggi” dalam cerita. Satu titik di mana karakter utama harus membuat pilihan.
Tidak seperti dalam karya fiksi, dalam story-driven marketing pilihan karakter utama akan jelas. Yaitu memilih perusahaan, produk, atau layanan kita.
Langkah 8: Climactic Reaction
Setelah karakter utama memilih perusahaan, produk, atau layanan kita, mereka akan mendapatkan keinginan mereka. Dan keihidupan mereka kembali seimbang.
Keingintahuan pemirsa juga terpuaskan. Pemirsa pun dibiarkan memahami bahwa cerita tidak benar-benar berakhir sampai mereka sendiri yang mengakhirinya. Yaitu dengan memilih bisnis kita.
Seorang ahli saraf mengungkapkan bahwa respons otak terhadap klimaks cerita yang bagus akan menghasilkan beberapa detik pikiran terbuka di mana memori meningkat.
Robert Mckee menambahkan, pemasar yang cerdas akan meletakkan logo dan slogan mereka tepat setelah klimaks untuk memanfaatkan fenomena tesebut.
Bisa kita simpulkan:
- Target audience = A meaningful emotional effect
- Subject matter = Balance
- Inciting Incidence = Imbalance
- Object of desire = Need
- First action = Tactical choice
- Reaction = Violation of expectation
- Crisis choice = Insight
- Climactic reaction = closure
Cerita Memiliki Kekuatan
Robert Mckee mengatakan, para peneliti mengungkapkan bahwa pikiran manusia memproses hal-hal nyata yang telah dialami dan cerita yang mereka lihat atau dengar. Pemirsa akan beranggapan hal-hal tersebut sangat mirip dengan berbagai pelajaran yang mereka pelajari selama ini.
Itu berarti bahwa pemasar, melalui cerita yang dibuat dengan tujuan yang baik, memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi cara orang melihat dunia dan pilihan yang mereka buat sebagai konsumen.
Storynomics Tourism
Nah akhir-akhir ini di Indonesia sering terdengar istilah baru, yaitu ‘storynomics tourism’. Sebagai salah satu cara untuk kembali menggeliatkan sektor pariwisata nasional.
Kalau kita artikan secara gampang-gampangan, storynomics tourism adalah pariwisata yang berbasis tata cara bercerita yang bisa menghasilkan cerita wisata yang baik. Sehingga bisa bisa memengaruhi orang untuk berwisata.
Begitu bukan? 😀
Dalam sebuah rilis beritanya, Kemenparekraf menjelaskan pengertian istilah ini.
Dijelaskan dalam rilis tersebut storynomics tourism adalah pendekatan pariwisata yang mengedepankan narasi, konten kreatif, living culture, dan menggunakan kekuatan budaya sebagai DNA destinasi.
Dengan kata lain, storynomic tourism adalah mengemas keindahan pesona Indonesia dalam sebuah cerita yang menarik, sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara mengunjungi Indonesia.
Seperti yang sudah kita ketahui, berbagai tempat wisata kita memiliki warisan sejarah, geologis, hingga geografis yang berbeda satu sama lain.
Berbagai keunikan tersebut bisa menjadi nilai tambah dalam pemasaran pariwisata Indonesia.
Dengan adanya cerita yang bagus diharapkan adanya kenaikan kembali kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Targetnya adalah 4-7 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2021.
Dengan storynomics tourism diharapkan bisa menjadi cara baru dalam mengenalkan berbagai cerita menarik dari berbagai destinasi di Indonesia. Sehingga destinasi dengan berbagai budaya, kuliner, sejarah, dan lainnya, bisa semakin dikenal di kancah internasional.
Pemerintah, sebagai contoh, akan menerapkan storynomic tourism pada wisata Danau Toba. Misal dengan mengangkat cerita asal-usul terbentuknya danau kaldera terbesar tersebut.
Termasuk menceritakan budaya Batak yang begitu unik dan indah.
Bagi saya, ini juga penting bagi setiap daerah untuk melakukan hal yang sama. Agar wisatawan dari provinsi/kabupaten/kota lain tertarik berkunjung ke daerahnya.
Selain berharap dari devisa negara yang dihasilkan dari wisatawan mancanegara, juga berharap perputaran uang antardaerah di Indonesia.
Pariwisata daerah terangkat dan parisata nasional pun terangkat.
Baca juga:
* 10+ Pengertian Komunikasi Menurut Para Ahli
Demikian penjelasan mengenai apa itu storynomics dan pengertian storynomics tourism yang sedang digalakkan oleh Kemenparekraf. Semoga artikel ini bermanfaat.